Kalau saja kita tidak sedang bertengkar, kurasa kini kita tengah berkirim pesan seperti biasa. Mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap hari, yang entah mengapa tak pernah jadi membosankan untukku. Bagaimana denganmu? Bosankah kamu tiap kali kutanyakan pola makanmu, atau sudahkah kamu mandi hari ini?
Kalau saja kita tidak sedang bertengkar, pastilah aku tengah mengoceh mengenai kaus kaki baruku. Warnanya merah muda, dan nyaman sekali ketika kupakai. Ng, tidak penting ya? Tapi bukankah aku dan kamu selalu begitu? Mengangkat hal-hal kecil (yang kadang kita besar-besarkan) sebagai topik pembicaraan. Tidak hanya kaus kaki baruku; tapi juga anggota keluarga baru, si mungil yang berbulu.
Kalau saja kita tidak sedang bertengkar, mungkin saja kamu tengah menceramahiku tentang segala tetek-bengek tentang pentingnya mandi sebelum siang hari tiba. Menyebalkan, tentu saja. Namun setidaknya lebih menyenangkan daripada diam masing-masing seperti sekarang ini. Harus kukatakan, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.
Kalau saja kita tidak sedang bertengkar... Eh, lho? Memangnya kita sedang bertengkar, ya? Yah, mungkin saja. Apa namanya kalau kamu atau aku tidak ada yang mau mengirim pesan satu sama lain? Apa namanya kalau kamu dan aku berhenti saling mengabari? Kata paling tepat yang bisa kutemukan, tentu saja: bertengkar.
Kalau saja kamu tidak berbicara buruk tentangnya, tentang wanita itu; semua ini tidak akan terjadi. Emosiku tidak akan meluap dan kita tidak akan bertengkar.
Kalau saja...
Ah, apa gunanya berandai-andai seperti ini?
Semuanya telah terjadi.
Tak ada yang bisa kuperbuat untuk mengubahnya.
Aku bukan robot kucing berwarna biru yang bisa dengan mudahnya
menggunakan mesin waktu dan mengubah semuanya.
Abaikan saja tulisan tak berarti ini.
Anggap saja ini adalah tulisan yang belum sempat dibuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar