Rabu, 08 Februari 2012

Monyet dan Babi

 

     “Gue mau ngomong sama lo.”
     Aku tertegun sejenak. Bukan hanya karena kalimatnya yang tak terduga itu, tapi juga yang menggenggam lenganku erat. Jantungku berdebar dua kali lebih cepat. “Emang apaan?” ujarku lalu duduk kembali di kursiku. karena tangannya
     Ia menghela nafas.
     “Babiii, cepetan! Gue pengen ke kantin… Laper, nih!” seruku tak sabar.
     “Gue suka sama lo.”
     “Ha? Gue? Yang bener aja!” ujarku sekenanya. Aku tak bisa memikirkan kalimat lain untuk kukatakan dalam keadaan seterkejut itu. Ia… Menyukaiku? Mustahil. Ini pasti mimpi. “Lucu lo!”
     “Siapa yang mau ngelucu!” serunya tak sabar. “Gue serius, Nyet! Gue gak main-main. Gue suka sama lo!”
     Aku memaksakan tawa kecil. “Nggak. Lu bohong. Nggak mungkin lo suka sama gue.”
     “Apanya yang nggak mungkin?! Anything possible, ‘kan lo yang selalu bilang kayak gitu ke gue?! Segalanya mungkin, tinggal bagaimana kita mencoba mewujudkannya!” ujarnya.
     “Itu…” Aku kehabisan kata-kata. “Itu…”
     Aku menatap dalam-dalam matanya. Apa ini mimpi? Ataukah ia hanya berusaha menggodaku, ingin membohongiku? Tapi aku tak bisa melihat apapun di matanya kecuali pantulan wajahku. “Tapi… Gak mungkin… Gak mungkin, Bi! Kenapa bisa?”
     “Awalnya juga gue nggak ngerti, kenapa gue bisa suka sama cewek kayak lo! Cewek nggak karuan yang nggak ada manis-manisnya. Tapi rasa itu udah meracuni otak gue, kalo udah kayak gitu, gue bisa apa? Kenyataan yang maksa gue suka sama lo.” ucapnya lirih.
     Aku membisu. Lidahku kelu, ditambah lagi aku tak bisa memikirkan sepatah katapun untuk diucapkan. Bayangkan! Cowok yang kusukai selama setengah tahun ini berkata padaku bahwa ia mempunyai perasaan yang sama terhadapku! Ini… Aku tak percaya… Aku ingin menangis rasanya. Menangis saking bahagianya… Kecuali ini hanya mimpi. Mungkin aku sedang tertidur di suatu tempat.
     “Jadi, gimana?” tanyanya. Ia memandangiku selama sepersekian detik. “Apa… Apa jawabannya… Apa jawaban lo?”
    “A… Gue…! Ah, lo itu… terlalu bertolak belakang sama gue! Lo sendiri yang bilang gue gak bisa diem kayak monyet. Sama sekali bukan orang yang pantes buat gue… Iya, ‘kan? Makanya…–”
    Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku, karena aku telah berada di dalam dekapan hangatnya. Aku bisa mendengar detak jantungnya… Bisa merasakan hembusan nafasnya… Bahkan kehangatan yang sekarang aku rasakan jauh lebih hangat daripada dekapan ibuku sendiri. Apa ini? Mimpi ini tak kunjung usai!
     “To the point. Gue nggak peduli kekurangan lo, latar belakang lo, apapun! Kenapa harus lo ribet-ribetin begitu sih…? Kita kan sama-sama manusia, sama-sama makan nasi! Cara pandang lo yang bikin kita beda! Yang harus lo tau, kita semua sama. Gak ada yang sempurna.” ujarnya lembut.
     Tangisku pecah. Aku tak kuasa mendengar kata-katanya yang terdengar begitu manis di telingaku. Aku bahagia, karena penantianku telah usai. Aku bahagia, karena pada akhirnya aku dapat menyampaikan perasaanku terhadapnya tanpa harus memendam rasa ini…
     Kuhela nafas dalam-dalam, lalu aku berbisik padanya, “Keajaiban adalah ketika seseorang yang lo suka juga suka sama lo. Dan sekarang gue lagi ngalamin keajaiban itu… sama lo, Bi.”

“Ketika kita mencintai dengan sungguh-sungguh tapi tidak tersampaikan, itulah yang membuat sakit. Itulah yang menimbulkan luka.
Dalam menyatakan perasaan, tidak ada kata cepat ataupun lambat. Yang diperlukan hanya keberanian kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar